Cari Blog Ini

Kamis, 17 Desember 2009

Kepada Siapa Hukum Berpihak?

MEMBEBERKAN keluh kesah bisa menghadapi masalah hukum. Bahkan, menuliskan pengalaman pribadi melalui surat elektronik (e-mail) bisa dijebloskan ke ruang tahanan. Mungkin, bagi Prita Mulyasari, bakal meringkuk di penjara amat jauh dari bayangannya, karena membeberkan pengalaman pribadi saat memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional di kawasan Perumahan Alam Sutera, Tangerang, Banten.

Pengalaman yang dianggapnya perlu diketahui rekan-rekannya melalui e-mail itu ternyata tersebar luas melalui jaringan internet. Kasus yang menimpa Prita tersebut bermula ketika dia mengirimkan e-mail sebagai surat pembaca ke sebuah media dotcom, kemudian dia mengirimkan pula kepada teman-temannya. E-mail itu berisi keluhan terhadap RS Omni Internasional yang pernah merawatnya.

Seperti biasanya, e-mail serupa selalu bergerak dari satu e-mail ke e-mail dan akhirnya menyebar ke publik lewat milis-milis. Pertanyaannya, apakah Prita benar-benar mencemarkan nama baik RS Omni Internasional?

Jika melihat isi e-mail yang berupa surat pembaca di sebuah media dotcom, kemudian kita menganalisisnya dengan metode analisis wacana (discourse analysis), tampaklah, isi e-mail-nya itu adalah narasi dalam bentuk keluhan yang lazim dialami oleh seseorang yang kecewa atas pelayanan.

Dalam e-mail itu, Prita hanya menggambarkan pengalamannya bersinggungan dengan RS Omni Internasional. Isinya adalah keluhan demi keluhan yang dialami. Sifat tulisannya pun cenderung deskriptif belaka. Siapa pun akan melakukan hal yang sama dengan Prita jika mengalami pengalaman kurang menyenangkan.

***

Analisis wacana (discourse analysis) adalah sebuah teknik menganalisis naskah (dalam hal ini tulisan e-mail yang dibuat Prita) yang bertujuan menemukan "jalan pikiran" yang terdapat dalam naskah yang dianalisis.

Melalui proses pemaknaan atas bagian demi bagian dari naskah yang dianalisis dan menghubungkan antarmakna yang timbul dari setiap bagian, kita selaku analis bisa menyimpulkan "jalan pikiran" yang dikandung pada sebuah naskah. Tentu saja, setiap pembuatan sebuah naskah (wacana) seperti dilakukan Prita adalah versi si pembuatnya

Karena itu, kedudukannya merupakan versi pembuatnya, ada dua konsekuensi yang mesti kita pahami bersama. Pertama, sebuah versi wacana hendaknya dipahami dari sudut pandang si pembuat naskah. Jika yang bersangkutan membuat wacana itu tanpa fakta dan data, dia boleh disebut berbohong, bahkan mencemarkan nama baik. Tetapi, jika masih mengacu pada fakta dan data, yang bersangkutan tidak bisa dikatakan sepenuhnya berbohong, melainkan hanya mengungkapkan data dan data menurut versinya sendiri.

Itulah yang namanya versi. Justru karena versi itulah terbuka peluang versi yang lain. Inilah konsekuensi kedua. Hendaknya sebuah versi wacana dijawab dengan versi lain. Hanya wacana yang fakta dan datanya lengkap serta akurat itulah yang mesti dimenangkan. Hal itu pula sebaiknya yang menjadi salah satu acuan dalam proses pengadilan dalam menghakimi wacana versus wacana.

***

Memang, dalam kasus di atas, RS Omni Internasional sudah membuat wacana versinya sendiri dalam bentuk hak jawab beserta iklan. Sayang, langkah hukum masih tetap diambil.

Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Masalah telah berkembang ke mana-mana dan telanjur masuk ke ranah hukum. Sementara itu, opini publik, sepertinya, berpihak kepada Prita.

Fenomena seperti yang menimpa Prita (eksistensi kebebasan mengeluarkan pendapat) patut dipertanyakan. Ternyata, kebebasan mengeluarkan pendapat masih menghadapi banyak ancaman.

Kini bukan hanya penguasa yang bisa meredam hak asasi seorang warganya untuk mengeluarkan pendapat, tapi juga sebuah lembaga swasta pun bisa memiliki kekuatan ampuh untuk membungkam kebebasan yang dijamin oleh konstitusi itu.

Peluang untuk mereduksi kebebasan mengeluarkan pendapat itu bisa muncul karena ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut dibuat sebagai rambu agar tidak terjadi kejahatan dengan memakai perangkat media teknologi informasi. Ada ancaman hukuman bagi pelanggar pasal-pasal dalam undang-undang tersebut.

Namun, persoalannya, perangkat hukum yang menjadi produk DPR bersama pemerintah itu justru amat berpotensi digunakan sebagai peredam kebebasan menyampaikan pendapat dari warga masyarakat. Contohnya, itu dialami oleh Prita Mulyasari.

Para pendiri republik ini amat peduli dengan kebebasan mengeluarkan pendapat bagi warga negara. Kebebasan itu lalu masuk sebagai salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kendati sudah beberapa kali mengalami amandemen atau perubahan, pasal yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat tidak pernah dihilangkan dari batang tubuh konstitusi negara itu.

Melihat penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa disalahgunakan untuk membungkam pendapat warga negara, sepatutnya ada upaya untuk merevisi produk legislatif tersebut. Tidak boleh ada sebuah peraturan perundang-undangan yang substansinya justru mengabaikan hak-hak konstitusional, misalnya, kebebasan mengeluarkan pendapat.

Langkah revisi itu menjadi pilihan karena peluang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sudah pernah dipakai. Melalui putusannya pada Mei lalu, Mahkamah Konstitusi menolak uji materiil yang diajukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat terhadap undang-undang tersebut.

Tetap perlu ada sebuah undang-undang yang memuat sanksi hukum terhadap kejahatan melalui teknologi informasi. Kepentingan publik layak dilindungi terhadap kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Namun, peraturan apa pun yang posisinya lebih rendah dari undang-undang dasar tidak bisa mengebiri hak-hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar