Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Desember 2009

Hak Kebebasan Berpendapat Bagi Setiap Warga Negara

Indonesia adalah Negara hukum yang melindungi setiap warga Negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan
gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Praktek kongrit dilapangan bangsa Indonesia masih sangat memprihatinkan adanya masih banyak kasus melanggaran hak-hak sipil dan politik, baik yang mencuat ditingkatan nasional maupun local. Baik yang dilakukan oleh Negara (pemerintah) secara langsung maupun secara tidak langsung (sebagai dalang dibelakang layar), yang seharusnya (das sollen) pihak Negara dalam membuat dan melakukan aktifitas kebijakan politik memposisikan jaminan hak sipil dan politik dengan melindunginya (protected) karena dalam perspektif HAM adalah hak Negara bersifat negative (negative right) dengan cara melindunginya setiap aktivitas hak-hak sipil politik warga Negara. Malah tidak sebaliknya menjadi “biang kerok” menghabisi / memasungnya.
Beberapa kasus yang mencuat dinasional dan local yang terkait pengebirian hak sipil dan politik adalah kasus lia eden, kasus ahmadiyah, kasus penelitian IPB terkait penemuan bakteri susu, kasus penelitian di LOS DIY, beberapa kasus tersebut adalah beberapa sample saja atas goresan sejarah yang suram atas pengkhianatan hak sipil politik dari warga Negara Indonesia, yang seharusnya pemerintah sebagai aparatur bisa mereduksi dan mengendalikan dinamisasi hak-hak sipil dan politik yang berkembang secara terus menerus dikalangan masyarakat.

Kisah Perjalanan Seorang Ibu Menghantarkan Koin Untuk Prita

Mega Putra Ratya

Dewi Sumyati (Mega Putra Ratya/ detikcom)
Jakarta - Wajahnya tampak lelah dan nafasnya terengah-engah. Cucuran keringat juga keluh kesah lelahnya dalam perjalanan terlontar dari bibir seorang ibu yang ingin menyampaikan amanah mengantarkan sekantung koin untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari .

Dewi Sumyati, seorang ibu yang diberi tugas untuk mengantarkan koin itu mendatangi Posko Utama Koin Peduli Prita di Jl Langsat I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (19/12/2009). Uang yang disumbangkan tidak seberapa, hanya Rp 82.000 saja. Uang itu terdiri dari Rp 27.000 uang kertas, Rp 55.000 uang koin, 2 lembar dua dollar Singapura dan satu celengan kecil.

Dalam kantung plastik hitam bawaanya itu ada sebuah celengan kecil bermotif kartun. Dewi menuturkan itu adalah celengan anaknya yang bungsu. Uang dalam celengan itu diniatkan oleh anaknya yang masih berusia sekolah menengah pertama untuk membeli sebuah telepon genggam.

"Saya bilang sama anak saya, nanti ada rezekinya lagi. Anak saya bilang tidak apa-apa," ujar wanita yang tinggal di Bekasi ini.

Dalam perjalanannya menuju posko, ibu empat anak ini tidak mudah mencapai tujuannya. Di mana tujuan awalnya adalah ke posko Jati Padang, karena menurut informasi yang diterimanya, penyerahan koin itu dilakukan di posko Jati Padang. Sesampainya disana, ternyata posko tersebut sudah tidak menerima bantuan koin lagi dan dipindahkan ke posko Langsat.

"Saya muter-muter nyari posko di Jati Padang, sampai tanya-tanya ke pos polisi segala akhirnya ketemu juga. Ternyata sudah pindah di Kebayoran Baru katanya," ucapnya.

Perjalanan yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB, harus dilalui selama 4 jam untuk mencapai lokasi posko Langsat. Padahal normalnya perjalanan dari Bekasi ke Jakarta dapat ditempuh sekitar 2 jam jika menggunakan kendaraan umum.

"Karena nyasar, saya habiskan ongkos sekitar Rp 27.000. Hitung-hitung amal," kata Dewi yang berkerja sebagai seorang Sekertaris Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Yayasan Aisyiyah Kota Bekasi ini.

Wanita berusia 49 tahun ini juga mengomentari soal kasus Prita sebagai bentuk ketidakadilan hukum. Dia mendukung Prita untuk tetap mengajukan proses hukum yang rencananya akan terus ke tingkat kasasi.

"Maju terus Mba Prita, jangan takut dengan ancaman hukum," ungkapnya.

Jumlah total koin yang sudah dihitung dari seluruh posko melebihi target Rp 204 Juta, yakni sekitar Rp 650.364.058. Penghitungan selesai pada 17 Desember 2009 pukul 20.45 WIB. Rinciannya total yang dihitung di luar posko Langsat, Rp 275 juta. Perhitungan di posko Langsat berjumlah Rp 335.296.058.

Uang ini nantinya akan diserakan pada sebuah konser amal bertajuk 'Konser Koin Untuk Keadilan' yang diselenggarakan oleh para relawan koin peduli Prita Mulyasari bertepatan dengan Hari Kesetiakawanan Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 Desember di Hard Rock Cafe Jakarta.

Kamis, 17 Desember 2009

“ Siapa yang tidak mencintai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, maka ia terlahir sebagai budak”.

Kalimat Alexis de Tocquevilles tahun 1856 ini merupakan gambaran yang paling nyata dari kredo liberalisme.

Orang yang hidup dalam kebebasan adalah mereka yang dapat bertindak tanpa terhalangi oleh hambatan-hambatan yang dibuat orang lain untuk menghalanginya. Namun, kebebasan yang seperti ini hanya dapat terwakili secara moral dan bersifat logis jika kebebasan itu sendiri sebagai prinsip tidak terlalu ditonjolkan. Karena itu kebebasan bertindak bagi seorang liberal berakhir di kala ia membatasi kebebasan orang lain dengan cara kekerasan dan paksaan. Jadi, diperlukan suatu definisi yang tepat tentang kebebasan yang mutlak bagi setiap individu itu. Di sini pertanyaan tentang batas-batas kebebasan berkaitan dengan pertanyaan tentang hak atas milik.

Kebebasan hanya legitim di saat orang boleh memiliki sesuatu sesuai dengan haknya. Karenanya muncul aturan umum untuk tidak memiliki orang lain, kecuali hak pemilikan itu diserahkan secara sukarela. Kebebasan itu, demikian dinyatakan filsuf Inggris dan bapak moyangnya liberalisme John Locke dalam bukunya Two Treatises on Government” tahun 1690, berangkat dari kepemilikan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan politik kepentingan yang mengacu pada milik pribadi (“possesive individualism”) seperti yang dimaksud beberapa kritikus. Pernyataan Locke itu lebih menekankan pada definisi bidang kepribadian. Kepemilikan yang dimaksud Locke pertama-tama adalah kepemilikan manusia atas dirinya sendiri. Dalam bahasa Inggris-Amerika modern ada istilah bagus untuk itu, yakni “self-ownership”.

Kebebasan liberal yang dicita-citakan belum mampu direalisasikan oleh manusia. Meskipun ada kemajuan, tetap saja masih terdapat aturan-aturan paksaan (umumnya oleh pemerintah) yang membunuh, melukai, mengurung atau mengambil hak bicara manusia.

Bukankah ada begitu banyak dalih untuk membatasi kebebasan itu? Bukankah banyak orang merasa terancam oleh adanya perbedaan dengan orang lain sehingga mereka hendak membatasi perbedaan itu dengan kekerasan? Bukankah banyak orang berpendapat bahwa orang ketiga yang kurang berperanlah yang perlu dipaksa dengan bantuan negara untuk membereskan kesemwarutan sosial yang benar-benar ada atau yang nampak ada tersebut? Bukankah banyak orang menganggap sah melindungi sesama dari pengrusakan diri (misalnya melalui konsumsi narkoba)? Bukankah banyak orang ingin memaksa orang lain demi kebahagiaan orang tersebut?

“ Tidak ada yang dapat memaksa saya menjadi bahagia dengan caranya (seperti ia membayangkan kebahagiaan itu bagi orang lain). Setiap orang boleh mencari kebahagiaannya dengan jalannya sendiri. Jalan yang akan membantunya hanya jika ia tidak menginjak kebebasan orang lain (artinya hak orang lain). Yaitu kebebasan untuk mendapatkan tujuan yang sama, kebebasan yang dapat tumbuh bersama dengan kebebasan setiap orang berdasarkan suatu hukum umum.”

Immanuel Kant (1794)

Adalah sangat nyaman dan memuaskan insting awam manusia untuk menentang kebebasan. Meski hasil dari pembatasan kebebasan seperti ini secara moral, sosial dan ekonomis berakibat buruk dan pada kenyataannya seringkali tidak disengaja. Justru karena gagasan kebebasan liberal itu begitu drastis menuntut sisi moralnya, tidaklah mengherankan jika beberapa orang yang bermaksud baik hendak mengurangi takaran moral tersebut. Oleh karena itu istilah kebebasan selalu saja diubah-ubah definisinya dan dikaburkan. Lalu tidak jarang kita mendengar istilah kebebasan politik “positif”, misalnya dengan cara perluasan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara demokratis. Atau bahkan istilah kebebasan (sosial) “materi”. Karena biasanya kebebasan seperti ini dengan semena-mena memperluas lingkungan kekuasaan atas manusia dan milik, maka ia berseberangan dengan ide kebebasan liberal. Pengikut konsep kebebasan yang telah kabur seperti ini senang dan sering membagi kebebasan dalam kebebasan-kebebasan “yang baik” (misalnya kebebasan berpendapat) dan “yang buruk” (terutama kebebasan ekonomi). Namun bagi seorang liberal sejati kebebasan tidak dapat dikotak-kotak.

“Kebebasan ekonomi tidak terjamin tanpa kebebasan politik, dan kebebasan politik hanya terjamin dalam kebebasan ekonomi”

Eugen Richter (1894)

Oleh karenanya kebebasan liberal mencakupi kebebasan ekonomi; tanpa kebebasan ini kiranya kebebasan-kebebasan yang lain tak akan dapat muncul.

Itu bukan berarti bahwa para pengikut kebebasan mengacuhkan kesejahteraan orang lain. Solidaritas dan kebebasan tidak saling terpisah. Bahkan tanpa kebebasan solidaritas sejati tidak mungkin ada. Bagi seorang liberal bukanlah keinginan terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan materi, tapi penggunaan kekerasan, perampasan dan paksaan dalam mewujudkan keinginan itulah yang dianggap tidak legitim. Sebaliknya, melalui kebebasan hambatan-hambatan yang menghalangi dalam pencapaian kesejahteraan itu disingkirkan. Hambatan-hambatan ini sudah sejak dari dulu merupakan sebab utama penderitaan orang banyak dan kemiskinan. Baru ketika kebebasan ekonomi sejak abad ke-19 mengalami peningkatan kesejahteraan massa yang sebenarnya dapat tercapai. Bahwa akhirnya kelaparan dapat teratasi, itu berkat jasa besar liberalisme. Di tempat di mana kebebasan itu berkuasa orang-orang memiliki harapan hidup yang lebih lama dan standar hidup yang lebih tinggi daripada di tempat yang tidak ada kebebasan.

Lebih jauh lagi, tanpa kebebasan bukan hanya kemajuan ekonomi yang tidak dapat tumbuh berkembang, tapi juga kemajuan budaya dan spiritual. Kemungkinan pertukaran dan persaingan bebas gagasan-gagasan menghasilkan manusia yang berdaya cipta dan percaya diri, manusia yang memajukan ilmu pengetahuan dan seni.

Kebebasan, terlepas dari semua kemajuan yang ada, dalam dunia nyata adalah angan-angan (yang masih?) belum tersempurnakan. Ia merupakan satu-satunya angan-angan yang membuat manusia tidak tunduk pada satu visi masyarakat, tapi menempatkannya sebagai individu di tengah-tengah seluruh usaha masyarakat.

Negara Berpenduduk Muslim Diperkirakan Kosongkan Bank Swiss

Salah seorang menteri Turki menyatakan, diperkirakan negara-negara Muslim menarik uang mereka dari bank Swiss sebagai tanggapan atas hasil penentuan pendapat, yang melarang pembangunan menara mesjid di negara itu.

"Saya yakin, itu akan mendesak saudara kita dari negara Muslim, yang menyimpan uang dan modal di bank Swiss meninjau keputusan mereka," kata Menteri Negara Egemen Bagis, Rabu.

Egemen Bagis adalah pimpinan perunding Turki dalam pembicaraan penerimaan Eropa Bersatu, seperti dikutip di harian berpasar besar "Hurriyet".

"Pintu perbankan Turki selalu terbuka bagi mereka," tambahnya.

Daniel Cohn-Bendit, presiden bersama Hijau di Parlemen Eropa, juga menyeru Muslim kaya mengosongkan rekening bank mereka di Swiss sebagai balasan atas penentuan pendapat pada Minggu itu.

Pemimpin Turki pada Selasa dengan keras mengecam pelarangan itu, menyebutnya mencerminkan peningkatan ketakutan akan Islam di Eropa dan mendesak Swiss "secepat mungkin kembali dari kesalahan tersebut".

Suara pada Minggu itu mencatat lebih dari 57 persen mendukung usul partai sayap kanan melarang pembuatan menara baru, mengesampingkan tentangan dari pemerintah dan sebagian besar partai politik Swiss.

Hasil itu disambut partai sayap kanan di seluruh Eropa, dengan beberapa di antaranya menyeru suara serupa di negara mereka.

Menteri Luar Negeri Swiss Micheline Calmy-Rey pada Senin menyatakan sudah menemui dutabesar dari negara Islam untuk "menjelaskan" penentuan pendapat rakyat, yang menyetujui pelarangan pembangunan menara mesjid.

Hasil penentuan pendapat pada Minggu itu menimbulkan kecaman dunia dan menuduh ketidak-menenggangan terhadap Muslim.

"Kami mencoba menerangkan dan memberitahu mengenai hasil suara itu, khususnya kepada negara Arab dan Islam," kata Calmy-Rey kepada pemancar radio Prancis RTL.

Wanita menteri itu menyatakan sudah menemui pada dutabesar tersebut di Bern.

Ia menyeru peningkatan pembicaraan antara masyarakat berbeda agama di Swiss, yang disebutnya negara serba-budaya.

Lebih dari 57 persen dari pemilih Swiss menyetujui penentuan pendapat, yang melarang pembangunan menara, yang dilekatkan pada mesjid untuk menyeru shalat.

Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Senin mencela hasil penentuan pendapat itu.

Pelarangan tersebut, kata pelapor khusus badan dunia itu untuk masalah kebebasan beragama atau kepercayaan, Asma Jahangir, jelas merupakan pengucilan terhadap penganut agama Islam.

"Saya sangat menyayangkan dampak buruk, yang akan ditimbulkan hasil pemungutan suara itu atas kebebasan beragama atau kepercayaan anggota masyarakat Muslim di Swiss," kata Asma Jahangir dalam pernyataan, yang disiarkan Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York.

Penentuan pendapat tajaan partai terbesar di negara itu, Partai Rakyat Swiss, disahkan setelah didukung sebagian besar pemberi suara.

Pelarangan melalui penentuan pendapat itu terwujud setelah tercapai 100.000 tandatangan, yang dikumpulkan dalam waktu 18 bulan dari pemilih.

Vatikan pada Senin mengungkapkan tentangan terhadap uskup Swiss, yang memberi suara melarang pembangunan menara mesjid di Swiss, dengan menyatakannya pukulan bagi kebebasan beragama.

Antonio Maria Sveglio, presiden dewan kepausan urusan migrasi, mengatakan kepada kantor berita Italia ANSA, "Kami di halaman sama dengan Konferensi Uskup Swiss."

Dalam pernyataan setelah pemungutan suara pada Minggu, konferensi itu menyatakan "meningkatkan masalah hidup bersama di antara agama", sementara sekretaris jenderal Felix Gmur mengatakan kepada Radio Vatikan bahwa pelarangan itu "pukulan berat pada kebebasan beragama dan kesatuan".(*)

Kepada Siapa Hukum Berpihak?

MEMBEBERKAN keluh kesah bisa menghadapi masalah hukum. Bahkan, menuliskan pengalaman pribadi melalui surat elektronik (e-mail) bisa dijebloskan ke ruang tahanan. Mungkin, bagi Prita Mulyasari, bakal meringkuk di penjara amat jauh dari bayangannya, karena membeberkan pengalaman pribadi saat memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional di kawasan Perumahan Alam Sutera, Tangerang, Banten.

Pengalaman yang dianggapnya perlu diketahui rekan-rekannya melalui e-mail itu ternyata tersebar luas melalui jaringan internet. Kasus yang menimpa Prita tersebut bermula ketika dia mengirimkan e-mail sebagai surat pembaca ke sebuah media dotcom, kemudian dia mengirimkan pula kepada teman-temannya. E-mail itu berisi keluhan terhadap RS Omni Internasional yang pernah merawatnya.

Seperti biasanya, e-mail serupa selalu bergerak dari satu e-mail ke e-mail dan akhirnya menyebar ke publik lewat milis-milis. Pertanyaannya, apakah Prita benar-benar mencemarkan nama baik RS Omni Internasional?

Jika melihat isi e-mail yang berupa surat pembaca di sebuah media dotcom, kemudian kita menganalisisnya dengan metode analisis wacana (discourse analysis), tampaklah, isi e-mail-nya itu adalah narasi dalam bentuk keluhan yang lazim dialami oleh seseorang yang kecewa atas pelayanan.

Dalam e-mail itu, Prita hanya menggambarkan pengalamannya bersinggungan dengan RS Omni Internasional. Isinya adalah keluhan demi keluhan yang dialami. Sifat tulisannya pun cenderung deskriptif belaka. Siapa pun akan melakukan hal yang sama dengan Prita jika mengalami pengalaman kurang menyenangkan.

***

Analisis wacana (discourse analysis) adalah sebuah teknik menganalisis naskah (dalam hal ini tulisan e-mail yang dibuat Prita) yang bertujuan menemukan "jalan pikiran" yang terdapat dalam naskah yang dianalisis.

Melalui proses pemaknaan atas bagian demi bagian dari naskah yang dianalisis dan menghubungkan antarmakna yang timbul dari setiap bagian, kita selaku analis bisa menyimpulkan "jalan pikiran" yang dikandung pada sebuah naskah. Tentu saja, setiap pembuatan sebuah naskah (wacana) seperti dilakukan Prita adalah versi si pembuatnya

Karena itu, kedudukannya merupakan versi pembuatnya, ada dua konsekuensi yang mesti kita pahami bersama. Pertama, sebuah versi wacana hendaknya dipahami dari sudut pandang si pembuat naskah. Jika yang bersangkutan membuat wacana itu tanpa fakta dan data, dia boleh disebut berbohong, bahkan mencemarkan nama baik. Tetapi, jika masih mengacu pada fakta dan data, yang bersangkutan tidak bisa dikatakan sepenuhnya berbohong, melainkan hanya mengungkapkan data dan data menurut versinya sendiri.

Itulah yang namanya versi. Justru karena versi itulah terbuka peluang versi yang lain. Inilah konsekuensi kedua. Hendaknya sebuah versi wacana dijawab dengan versi lain. Hanya wacana yang fakta dan datanya lengkap serta akurat itulah yang mesti dimenangkan. Hal itu pula sebaiknya yang menjadi salah satu acuan dalam proses pengadilan dalam menghakimi wacana versus wacana.

***

Memang, dalam kasus di atas, RS Omni Internasional sudah membuat wacana versinya sendiri dalam bentuk hak jawab beserta iklan. Sayang, langkah hukum masih tetap diambil.

Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Masalah telah berkembang ke mana-mana dan telanjur masuk ke ranah hukum. Sementara itu, opini publik, sepertinya, berpihak kepada Prita.

Fenomena seperti yang menimpa Prita (eksistensi kebebasan mengeluarkan pendapat) patut dipertanyakan. Ternyata, kebebasan mengeluarkan pendapat masih menghadapi banyak ancaman.

Kini bukan hanya penguasa yang bisa meredam hak asasi seorang warganya untuk mengeluarkan pendapat, tapi juga sebuah lembaga swasta pun bisa memiliki kekuatan ampuh untuk membungkam kebebasan yang dijamin oleh konstitusi itu.

Peluang untuk mereduksi kebebasan mengeluarkan pendapat itu bisa muncul karena ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut dibuat sebagai rambu agar tidak terjadi kejahatan dengan memakai perangkat media teknologi informasi. Ada ancaman hukuman bagi pelanggar pasal-pasal dalam undang-undang tersebut.

Namun, persoalannya, perangkat hukum yang menjadi produk DPR bersama pemerintah itu justru amat berpotensi digunakan sebagai peredam kebebasan menyampaikan pendapat dari warga masyarakat. Contohnya, itu dialami oleh Prita Mulyasari.

Para pendiri republik ini amat peduli dengan kebebasan mengeluarkan pendapat bagi warga negara. Kebebasan itu lalu masuk sebagai salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kendati sudah beberapa kali mengalami amandemen atau perubahan, pasal yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat tidak pernah dihilangkan dari batang tubuh konstitusi negara itu.

Melihat penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa disalahgunakan untuk membungkam pendapat warga negara, sepatutnya ada upaya untuk merevisi produk legislatif tersebut. Tidak boleh ada sebuah peraturan perundang-undangan yang substansinya justru mengabaikan hak-hak konstitusional, misalnya, kebebasan mengeluarkan pendapat.

Langkah revisi itu menjadi pilihan karena peluang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sudah pernah dipakai. Melalui putusannya pada Mei lalu, Mahkamah Konstitusi menolak uji materiil yang diajukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat terhadap undang-undang tersebut.

Tetap perlu ada sebuah undang-undang yang memuat sanksi hukum terhadap kejahatan melalui teknologi informasi. Kepentingan publik layak dilindungi terhadap kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Namun, peraturan apa pun yang posisinya lebih rendah dari undang-undang dasar tidak bisa mengebiri hak-hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi

Prita & kebebasan berpendapat

Prita Mulyasari, ibu dua anak yang diperkarakan Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang kini muncul sebagai tumbal sekaligus pahlawan bagi pendewasaan dalam kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia. Ya, dia layak mendapat predikat itu.
Dengan tindakannya berkeluh kesah melalui dunia maya, ketabahannya menghadapi tuntutan hukum rumah sakit serta penderitaannya selama dipenjara telah menggugah semangat solidaritas serta pencakrawalaan wacana rakyat Indonesia tentang apa itu kebebasan berpendapat yang sebenarnya adalah hak setiap warga negara.
Pernyataannya yang ikhlas, pasrah atas persoalan yang menimpa dia demi kepentingan khalayak luas sungguh telah menggugah empati jutaan orang. ”Semoga apa yang saya alami ini tidak terjadi lagi kepada orang lain, cukup saya saja. Karena itu saya meminta pihak hukum (aparat yang berwenang, red) memperhatikan aspirasi masyarakat,” kata dia dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi di Jakarta, sesaat setelah dia dibebaskan.
Apa yang disampaikan Prita harus menjadi catatan penting bagi para penegak hukum di negeri ini. Bahwa hukum sesungguhnya bukanlah sekadar pasal-pasal, pembuktian-pembuktian normatif, namun lebih jauh lagi yaitu mengenai rasa keadilan di masyarakat. Ini perlu digarisbawahi karena Prita jelas telah diperlakukan tidak adil, dizalimi dan diperlakukan secara sewenang-wenang atas nama hukum dan kekuasaan.
Prita, ibu rumah tangga berusia 32 tahun itu ditahan karena menulis keluhan di Internet. Keluhannya yang bersifat pribadi dan bahkan semula hanya disampaikan kepada teman-temannya lalu menyebar ke dunia maya. Pengacara Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang menilai apa yang dilakukan Prita merusak nama baik kliennya. Dasar penahanan Prita adalah karena ia dianggap melanggar Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Apa yang dialami Prita itu jelas sebuah penerapan hukum yang tidak memperhatikan hal-hal yang berkait dengan rasa keadilan masyarakat. Prita dianggap ”penjahat”. Ibu dua orang anak yang masih Balita itu dinilai telah merampas keuntungan finansial rumah sakit. Karena akibat tulisan Prita, katanya, rumah sakit telah kehilangan kepercayaan dan itu mengurangi pemasukan.
Kami sungguh prihatin dengan langkah yang dilakukan RS Omni, kepolisian dan kejaksaan. Kebebasan berpendapat mestinya telah menjadi ranah publik yang tidak bisa serta-merta dijerat dengan hukum positif. Berpendapat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia. Keluhan, mestinya dijawab dengan penjelasan simpatik. Kecuali jika memang ada unsur kesengajaan untuk menjatuhkan seseorang atau lembaga tanpa argumen jelas.
Seharusnya RS sebagai lembaga pelayanan publik lebih bersifat proaktif untuk melayani segala macam keluhan pasien. Hal lain adalah mengeluh atas sebuah layanan yang diberikan oleh produsen seharusnya diselesaikan terlebih dahulu secara arif dan bijaksana. Tidak lantas sapa sira sapa ingsun, merasa mempunyai kuasa lantas bertindak sewenang-wenang.
Dalam teori kehumasan, pendekatan secara kemanusiaan adalah hal utama dalam upaya menjaga citra. Namun ketika kekuasaan yang berbicara, beginilah akibatnya, RS Omni pasti kehilangan simpati dari masyarakat bahkan kini menjadi pihak yang terhujat. q

Kebebasan Berpendapat

Belajar dari kasus Ibu Prita Mulyasari

Heboh kasus Ibu Prita Mulyasari belum selesai. Suatu kasus yang membuat banyak orang tersentak, kaget dan tak percaya. Membuat banyak orang berpikir, sampai dimanakah batas yang diberikan kepada seorang pelanggan untuk mempertanyakan pelayanan yang diterimanya atau yang diberikan kepadanya. Seberapa luaskah kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan menyampaikan keluhan.

Dari kasus tersebut aku melihat bahwa yang dijadikan persoalan adalah pelayanan yang dianggap tidak memuaskan. Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan oleh lembaga atau perorangan kepada masyarakat (pelanggan), yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Apabila suatu pelayanan yang diberikan dapat memuaskan pelanggan maka akan mengakibatkan loyalitas pelanggan yang besar.

Pelayanan yang terbaik dan memuaskan sering disebut sebagai Pelayanan Prima. Menurut Swastika (2005), pelayanan prima mengandung tiga hal pokok, yaitu adanya pendekatan sikap yang berkaitan dengan kepedulian kepada pelanggan, upaya melayani dengan tindakan yang terbaik dan ada tujuan untuk memuaskan pelanggan dengan berorientasi pada standar layanan tertentu.

Untuk mencapai tingkat pelayanan yang prima maka pelaku pelayanan harus mampu melayani pelanggan secara memuaskan, baik dengan keterampilan pelaku pelayanan (kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan, tanggung jawab, kecepatan, ketepatan, keramahan) maupun dengan memaksimalkan failitas-fasilitas penunjang (gedung, desain interior dan exterior serta peralatan/perlengkapan) yang mampu menimbulkan kenyamanan bagi konsumen. Suatu pelayanan kepada masyarakat akan dianggap berkualitas apabila sesuai dengan sendi-sendi pelayanan prima sebagai berikut:
  1. Kesederhanaan
  2. Kejelasan dan kepastian
  3. Keamanan
  4. Keterbukaan
  5. Efisien
  6. Ekonomis
  7. Keadilan
  8. Ketepatan waktu

Saat ini semua aparatur pemerintah yang memberikan pelayanan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Untuk mendukung hal itu telah diterbitkan Keputusan Menpan nomor 81 / 1995, yang juga dipertegas dalam Instruksi Presiden nomor I / 1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi.

Guna lebih mendorong aparatur pelayanan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka sejak tahun 1995 Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara memberikan Penghargaan Citra Pelayanan Prima yang dilakukan dua tahun sekali. Hal itu antara lain dilakukan melalui berbagai inovasi dan terobosan yang pada hakekatnya untuk mempermudah, mempercepat, dan meminimalkan biaya.

Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dengan harapan agar masyarakat dapat benar-benar mendapatkan pelayanan proporsional yang merupakan haknya, baik di bidang kesehatan, pendidikan, perijinan, perpajakan, surat-menyurat dan sebagainya. Keberhasilan unit pelayanan publik di suatu daerah/instansi juga diharapkan bisa diadopsi oleh daerah atau unit-unit lain.

Jika setiap unit pelayanan publik telah melakukan pelayanan yang mengacu pada pelayanan prima, maka kasus seperti Ibu Prita tidak perlu terjadi. Kenyataan itu menyadarkan kita bahwa ternyata pelaku pelayanan belum sepenuhnya mampu melayani dan menempatkan pelanggan sebagai orang yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Sepertinya untuk mewujudkan pelayanan prima para pelaku pelayanan harus selalu diingatkan untuk berpegang pada motto : “pelanggan adalah raja”.

Semoga saja kasus Ibu Prita dapat menyadarkan kita semua untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan (masyarakat). Semoga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan dan untuk ke depannya, tak akan ada lagi kasus serupa.