Cari Blog Ini

Kamis, 17 Desember 2009

Kebebasan Berpendapat

Belajar dari kasus Ibu Prita Mulyasari

Heboh kasus Ibu Prita Mulyasari belum selesai. Suatu kasus yang membuat banyak orang tersentak, kaget dan tak percaya. Membuat banyak orang berpikir, sampai dimanakah batas yang diberikan kepada seorang pelanggan untuk mempertanyakan pelayanan yang diterimanya atau yang diberikan kepadanya. Seberapa luaskah kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan menyampaikan keluhan.

Dari kasus tersebut aku melihat bahwa yang dijadikan persoalan adalah pelayanan yang dianggap tidak memuaskan. Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan oleh lembaga atau perorangan kepada masyarakat (pelanggan), yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Apabila suatu pelayanan yang diberikan dapat memuaskan pelanggan maka akan mengakibatkan loyalitas pelanggan yang besar.

Pelayanan yang terbaik dan memuaskan sering disebut sebagai Pelayanan Prima. Menurut Swastika (2005), pelayanan prima mengandung tiga hal pokok, yaitu adanya pendekatan sikap yang berkaitan dengan kepedulian kepada pelanggan, upaya melayani dengan tindakan yang terbaik dan ada tujuan untuk memuaskan pelanggan dengan berorientasi pada standar layanan tertentu.

Untuk mencapai tingkat pelayanan yang prima maka pelaku pelayanan harus mampu melayani pelanggan secara memuaskan, baik dengan keterampilan pelaku pelayanan (kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan, tanggung jawab, kecepatan, ketepatan, keramahan) maupun dengan memaksimalkan failitas-fasilitas penunjang (gedung, desain interior dan exterior serta peralatan/perlengkapan) yang mampu menimbulkan kenyamanan bagi konsumen. Suatu pelayanan kepada masyarakat akan dianggap berkualitas apabila sesuai dengan sendi-sendi pelayanan prima sebagai berikut:
  1. Kesederhanaan
  2. Kejelasan dan kepastian
  3. Keamanan
  4. Keterbukaan
  5. Efisien
  6. Ekonomis
  7. Keadilan
  8. Ketepatan waktu

Saat ini semua aparatur pemerintah yang memberikan pelayanan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Untuk mendukung hal itu telah diterbitkan Keputusan Menpan nomor 81 / 1995, yang juga dipertegas dalam Instruksi Presiden nomor I / 1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi.

Guna lebih mendorong aparatur pelayanan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka sejak tahun 1995 Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara memberikan Penghargaan Citra Pelayanan Prima yang dilakukan dua tahun sekali. Hal itu antara lain dilakukan melalui berbagai inovasi dan terobosan yang pada hakekatnya untuk mempermudah, mempercepat, dan meminimalkan biaya.

Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dengan harapan agar masyarakat dapat benar-benar mendapatkan pelayanan proporsional yang merupakan haknya, baik di bidang kesehatan, pendidikan, perijinan, perpajakan, surat-menyurat dan sebagainya. Keberhasilan unit pelayanan publik di suatu daerah/instansi juga diharapkan bisa diadopsi oleh daerah atau unit-unit lain.

Jika setiap unit pelayanan publik telah melakukan pelayanan yang mengacu pada pelayanan prima, maka kasus seperti Ibu Prita tidak perlu terjadi. Kenyataan itu menyadarkan kita bahwa ternyata pelaku pelayanan belum sepenuhnya mampu melayani dan menempatkan pelanggan sebagai orang yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Sepertinya untuk mewujudkan pelayanan prima para pelaku pelayanan harus selalu diingatkan untuk berpegang pada motto : “pelanggan adalah raja”.

Semoga saja kasus Ibu Prita dapat menyadarkan kita semua untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan (masyarakat). Semoga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan dan untuk ke depannya, tak akan ada lagi kasus serupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar